UJIAN
KEBENARAN IMAN
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا
وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ
فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Artinya
: "Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QS:
Al-Ankabut:2). Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka,
maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta." (QS: Al-Ankabut:3)
Banyak orang merasa cukup ketika menyatakan diri sebagai
Mukmin. Seolah pengakuan iman itu tidak mengandung konsekuensi bagi pelakunya.
Padahal pengakuan iman itu masih harus dibuktikan dalam bentuk sikap dan
tindakan ketika menghadapi ujian dan cobaan. Ayat diatas memberitakan
keniscayaan adanya ujian bagi pengakuan setiap orang untuk membuktikan
kebenaran imannya.
Iman Harus Diuji
Allah Swt berfirman : أَحَسِبَ النَّاسُ أَن
يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
(Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan:"Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi?.
Kata حَسِبَ dalam ayat ini
bermakna zhanna (menduga, mengira). Sedangkan huruf hamzah didepannya merupakan
istifhâm (kata tanya). Imam Ibnu Katsir dan Sihabuddin al-Alusi menyimpulkan
bahwa istifhâm dalam ayait ini bermakna inkâri (pengingkaran). Sedangkan Imam
al-Syaukani menyatakan bahwa istifhâm bermakna li al-taqrî' wa al-tawwbîkh
(celaan dan teguran). Artinya mereka tidak dibiarkan begitu saya mengatakan
telah beriman tanpa diuji dan dicoba untuk membuktikan kebenaran pengakuan iman
mereka.
Kata يُفْتَنُونَ berasal dari kata al-fitnah. Ada beberapa pengertian
yang diberikan oleh para mufassir mengenai kata يُفْتَنُونَ. Mujahid sebagaiman
yang dikutip oleh Ibnu Jarir, memaknai لَا يُفْتَنُونَ sebagai lâ
yubtalûn (mereka diuji). Menurut Al-Nasafi, pengertian al-fitnah di sini adalah
al-imtihân (ujian) yang berupa taklif-taklif hukum yang berat antara lain
- Melaksanakan seluruh ketaatan dan meninggalkan syahwat
- Ditimpa kemiskinan dan paceklik
- Ditimpa musibah yang melibatkan Jiwa dan Harta
- Bersabar menghadapi kaum kafir dengan berbagai makar mereka
Dalam nash lain disebutkan bahwa ujian yang diberikan
oleh Allah tidak selalu dalam bentuk yang berat dan dibenci. Ada juga ujian
yang menyenangkan sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anbiya : 35 )
وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا
تُرْجَعُونَ
"Kami
akan menguji kami dengan dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan yang
sebenar-benarnya. (QS: Al-Anbiya : 35)
Semua
ujian itu berfungsi untuk membuktikan kebenaran iman seseorang. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ujian
yang diberikan sesuai dengan kadar keimanan pelakunya.
Nabi SAW bersabda : Manusia yang paling berat cobaannya
adalah para Nabi kemudian orang-orang yang shalih, kemudian berikutnya kemudian
berikutnya. Seseorang dicoba sesuai dengan kadar agamanya. Ketika dia tetap
tegar, maka ditingkatkan cobaanya. (HR. Al-Tirmidzi)
Terbukti Iman atau Dusta
Setelah menegaskan adanya cobaan untuk menguji keimanan
manusia, Allah SWT berfirman : وَلَقَدْ فَتَنَّا
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ. (dan sesungguhnya telah menguji
orang-orang yang sebelum mereka). Ayat ini memberitakan bahwa ujian keimanan
itu tidak hanya diberikan kepada kita namun juga kepada umat-umat terdahulu. Oleh karena itu ujian keimanan ini merupakan sunnatullah yang berlaku
setiap masa.
Dengan ujian dan cobaab itulah dapat diketahui pengakuan
yang benar dan dan yang dusta. Allah SWT berfirman : فَلَيَعْلَمَنَّ
اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا (maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar).
Sebagai Dzat yang Maha Mengetahui semua peristiwa baik sebelum, sedang, maupun
sudah terjadi. Oleh karena itu al-ilmu disini dimaknai al-ru'yah. Hal ini
sebagaimana makna lina'lama dalam surat
Al-Baqarah ayat 143 yang bermakna linarâ (agar kami melihat).
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا
إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ
"Dan
Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul "
Menurut Ibnu Katsir, Al-Ru'yah (penglihatan) berkaitan
dengan sesuai yang ada. Sedangkan al-'ilm (pengetahuan) lebih dari itu, bisa
menyangkut perkara yang ada maupun yang tidak ada.
Dalam Al-Quran cukup banyak diberitakan tentang
orang-orang yang mampu mebuktika kebenaran keimanannya sekalipun mendapat ujian
yang besar.
Dalam Al-Quran Surat Al-Shaaffat : 101-108, dikisahkan
ketegaran Nabi Ibrahim dan putranya Ismail dalam menghadapi al-balâ al-mubîn
(ujian yang nyata) berupa perintah untuk menyembeli putranya. Perintah tersebut
tentu saja merupakan ujian yang besar. Bagi Ibrahim, Islmail adalah perhiasan
dunia yang paling dicintainya. Sementara bagi Ismail, nyawanya adalah harta
yang paling berharga yang dia miliki. Namun mereka bersabar dengan perintah
tersebut. Setelah terbukti ketaatan mereka, Allah pun membatalkan perintah-Nya
dan menggantinya dengan sembelihan yang besar.
Pembuktian keimanan juga berhasil ditunjukkan oleh para
ahli sihir yang bertanding dengan Nabi Musa AS. Setelah melihat mukjizat Nabi
Musa, mereka segera bersujud dan menyatakan beriman. Fir'aun pun mengancam akan
memotong tangan dan kaki mereka dan menyalib mereka. Namun mereka tidak gentar
dan tidak berpaling meskipun mereka mendapatkan ancaman yang keras. (QS.
Al-A'raf 115-126)
Dalam QS: Al-Hasyr ayat 8-9 juga diberitakan mengenai
kebenaran iman kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Muhajirin tetap tegar mencari
karunia Allah dan Ridha-Nya; menolong agama Allah dan Rasul-Nya sekalipun
mereka diusir dari kamp[ung halaman mereka. Mereka pun disebut sebagai
Al-shodiqûn (orang-orang yang benar). Demikian pula kaum Anshar yang dengan
senang hati menerima kahadiran kaum Muhajirin. Bahkan lebih mengutamakan dari
saudaranya atas diri mereka.
Allah SWT berfirman :
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
)Dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta). Dengan
ujian tersebut akan terlihat pula orang-orang yang dusta pengakuannya.
Pengakuan Iman mereka hanya sebatas dimulut saja tidak melebihi
kerongkongannya. Dalam Al-Quran juga banya dikisahkan tentang kaum yang gagal
membuktikan kebenaran iman mereka.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ مِن
بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُواْ لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ
فِي سَبِيلِ اللّهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ
أَلاَّ تُقَاتِلُواْ قَالُواْ وَمَا لَنَا أَلاَّ نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللّهِ
وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِن دِيَارِنَا وَأَبْنَآئِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ
الْقِتَالُ تَوَلَّوْاْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنْهُمْ وَاللّهُ عَلِيمٌ
بِالظَّالِمِينَ
Apakah
kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu
ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami
seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah".
Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan
berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami
tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari
anak-anak kami?" [155]. Maka
tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali
beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang
yang zalim.
Bani
Israil meminta agar diangkat seorang pemimpin untuk mereka. Mereka juga
menegaskan tidak akan keberatan jika diperintahkan untuk berpeang di jalan-Nya.
Akan tetapi ketika diangkat pemimpin dan perang
benar-benar diwajibkan, sebagian besar mereka berpaling.
Demikian pula kaum munafi di Madianh. Ketika Madinah
dikepung pasukan kaum musrikin, mereka mengatakan bahwa Allah dan Rasul-Nya
hanya menjanjikan tipu daya. Bukan hanya itu mereka bahkan mempropokasi
penduduk Madinah untuk pulang k dari medan perang. Padahal sebelumnya mereka
berjanji kepada Allah untuk tidak mundur dari peperangan (QS. Al-Ahzab: 13). Sikap
mereka itumenjadi bukti nyata bahwa keimanan mereka dusta.
Demikianlah. Keimanan yang benar pasti akan melahirkan
ketaatan terhadap syari'atnya. Oleh karena itu keterikatan dan ketaatan
terhadap syariah bisa dijadikan sebagai tolok ukur keimanan seseorang. Ketika
seseorang senantiasa terikat dan taat kepada syari'atnya sesulit dan seberat
apapun, berarti keimanannya telah terbukti. Sebaliknya ketika tidak mau taat,
apalagi menolak, tentulah keimanannya patut diragukan.