Friday, November 11, 2011

UJIAN KEBENARAN IMAN


UJIAN KEBENARAN IMAN


أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ۝

وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ ۝

Artinya : "Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QS: Al-Ankabut:2). Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS: Al-Ankabut:3)

Banyak orang merasa cukup ketika menyatakan diri sebagai Mukmin. Seolah pengakuan iman itu tidak mengandung konsekuensi bagi pelakunya. Padahal pengakuan iman itu masih harus dibuktikan dalam bentuk sikap dan tindakan ketika menghadapi ujian dan cobaan. Ayat diatas memberitakan keniscayaan adanya ujian bagi pengakuan setiap orang untuk membuktikan kebenaran imannya.

Iman Harus Diuji

Allah Swt berfirman : أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
(Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:"Kami telah beriman" sedang mereka tidak diuji lagi?.

Kata حَسِبَ dalam ayat ini bermakna zhanna (menduga, mengira). Sedangkan huruf hamzah didepannya merupakan istifhâm (kata tanya). Imam Ibnu Katsir dan Sihabuddin al-Alusi menyimpulkan bahwa istifhâm dalam ayait ini bermakna inkâri (pengingkaran). Sedangkan Imam al-Syaukani menyatakan bahwa istifhâm bermakna li al-taqrî' wa al-tawwbîkh (celaan dan teguran). Artinya mereka tidak dibiarkan begitu saya mengatakan telah beriman tanpa diuji dan dicoba untuk membuktikan kebenaran pengakuan iman mereka.

Kata يُفْتَنُونَ  berasal dari kata al-fitnah. Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para mufassir mengenai kata يُفْتَنُونَ. Mujahid sebagaiman yang dikutip oleh Ibnu Jarir, memaknai لَا يُفْتَنُونَ sebagai lâ yubtalûn (mereka diuji). Menurut Al-Nasafi, pengertian al-fitnah di sini adalah al-imtihân (ujian) yang berupa taklif-taklif hukum yang berat antara lain

  1. Melaksanakan seluruh ketaatan dan meninggalkan syahwat
  2. Ditimpa kemiskinan dan paceklik
  3. Ditimpa musibah yang melibatkan Jiwa dan Harta
  4. Bersabar menghadapi kaum kafir dengan berbagai makar mereka

Dalam nash lain disebutkan bahwa ujian yang diberikan oleh Allah tidak selalu dalam bentuk yang berat dan dibenci. Ada juga ujian yang menyenangkan sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Anbiya : 35 )

وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

"Kami akan menguji kami dengan dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan yang sebenar-benarnya. (QS: Al-Anbiya : 35)


Semua ujian itu berfungsi untuk membuktikan kebenaran iman seseorang. Ibnu Katsir  menjelaskan bahwa ujian yang diberikan sesuai dengan kadar keimanan pelakunya.

Nabi SAW bersabda : Manusia yang paling berat cobaannya adalah para Nabi kemudian orang-orang yang shalih, kemudian berikutnya kemudian berikutnya. Seseorang dicoba sesuai dengan kadar agamanya. Ketika dia tetap tegar, maka ditingkatkan cobaanya. (HR. Al-Tirmidzi)


Terbukti Iman atau Dusta

Setelah menegaskan adanya cobaan untuk menguji keimanan manusia, Allah SWT berfirman : وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ. (dan sesungguhnya telah menguji orang-orang yang sebelum mereka). Ayat ini memberitakan bahwa ujian keimanan itu tidak hanya diberikan kepada kita namun juga kepada umat-umat terdahulu. Oleh karena itu ujian keimanan ini merupakan sunnatullah yang berlaku setiap masa.

Dengan ujian dan cobaab itulah dapat diketahui pengakuan yang benar dan dan yang dusta. Allah SWT berfirman : فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا (maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar). Sebagai Dzat yang Maha Mengetahui semua peristiwa baik sebelum, sedang, maupun sudah terjadi. Oleh karena itu al-ilmu disini dimaknai al-ru'yah. Hal ini sebagaimana makna lina'lama dalam surat Al-Baqarah ayat 143 yang bermakna linarâ (agar kami melihat).

وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ

"Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul "

Menurut Ibnu Katsir, Al-Ru'yah (penglihatan) berkaitan dengan sesuai yang ada. Sedangkan al-'ilm (pengetahuan) lebih dari itu, bisa menyangkut perkara yang ada maupun yang tidak ada.

Dalam Al-Quran cukup banyak diberitakan tentang orang-orang yang mampu mebuktika kebenaran keimanannya sekalipun mendapat ujian yang besar.

Dalam Al-Quran Surat Al-Shaaffat : 101-108, dikisahkan ketegaran Nabi Ibrahim dan putranya Ismail dalam menghadapi al-balâ al-mubîn (ujian yang nyata) berupa perintah untuk menyembeli putranya. Perintah tersebut tentu saja merupakan ujian yang besar. Bagi Ibrahim, Islmail adalah perhiasan dunia yang paling dicintainya. Sementara bagi Ismail, nyawanya adalah harta yang paling berharga yang dia miliki. Namun mereka bersabar dengan perintah tersebut. Setelah terbukti ketaatan mereka, Allah pun membatalkan perintah-Nya dan menggantinya dengan sembelihan yang besar.

Pembuktian keimanan juga berhasil ditunjukkan oleh para ahli sihir yang bertanding dengan Nabi Musa AS. Setelah melihat mukjizat Nabi Musa, mereka segera bersujud dan menyatakan beriman. Fir'aun pun mengancam akan memotong tangan dan kaki mereka dan menyalib mereka. Namun mereka tidak gentar dan tidak berpaling meskipun mereka mendapatkan ancaman yang keras. (QS. Al-A'raf 115-126)

Dalam QS: Al-Hasyr ayat 8-9 juga diberitakan mengenai kebenaran iman kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Muhajirin tetap tegar mencari karunia Allah dan Ridha-Nya; menolong agama Allah dan Rasul-Nya sekalipun mereka diusir dari kamp[ung halaman mereka. Mereka pun disebut sebagai Al-shodiqûn (orang-orang yang benar). Demikian pula kaum Anshar yang dengan senang hati menerima kahadiran kaum Muhajirin. Bahkan lebih mengutamakan dari saudaranya atas diri mereka.

Allah SWT berfirman :   

وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
)Dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta). Dengan ujian tersebut akan terlihat pula orang-orang yang dusta pengakuannya. Pengakuan Iman mereka hanya sebatas dimulut saja tidak melebihi kerongkongannya. Dalam Al-Quran juga banya dikisahkan tentang kaum yang gagal membuktikan kebenaran iman mereka.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِن بَنِي إِسْرَائِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَى إِذْ قَالُواْ لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللّهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلاَّ تُقَاتِلُواْ قَالُواْ وَمَا لَنَا أَلاَّ نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِن دِيَارِنَا وَأَبْنَآئِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْاْ إِلاَّ قَلِيلاً مِّنْهُمْ وَاللّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ

Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang". Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?" [155]. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.


Bani Israil meminta agar diangkat seorang pemimpin untuk mereka. Mereka juga menegaskan tidak akan keberatan jika diperintahkan untuk berpeang di jalan-Nya. Akan tetapi ketika diangkat pemimpin dan perang benar-benar diwajibkan, sebagian besar mereka berpaling.

Demikian pula kaum munafi di Madianh. Ketika Madinah dikepung pasukan kaum musrikin, mereka mengatakan bahwa Allah dan Rasul-Nya hanya menjanjikan tipu daya. Bukan hanya itu mereka bahkan mempropokasi penduduk Madinah untuk pulang k dari medan perang. Padahal sebelumnya mereka berjanji kepada Allah untuk tidak mundur dari peperangan (QS. Al-Ahzab: 13). Sikap mereka itumenjadi bukti nyata bahwa keimanan mereka dusta.

Demikianlah. Keimanan yang benar pasti akan melahirkan ketaatan terhadap syari'atnya. Oleh karena itu keterikatan dan ketaatan terhadap syariah bisa dijadikan sebagai tolok ukur keimanan seseorang. Ketika seseorang senantiasa terikat dan taat kepada syari'atnya sesulit dan seberat apapun, berarti keimanannya telah terbukti. Sebaliknya ketika tidak mau taat, apalagi menolak, tentulah keimanannya patut diragukan.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews